
Aqiqah adalah ibadah syariat yang disyariatkan untuk bayi Muslim sebagai ungkapan syukur atas kelahiran anak. Menurut bahasa, “aqiqah” berarti rambut kepala bayi yang tumbuh sejak dalam kandungan hingga lahir. Secara istilah, aqiqah adalah penyembelihan hewan pada hari ketujuh kelahiran bayi, disertai pencukuran rambut dan pemberian nama kepada sang bayi. Rasulullah SAW bersabda: “Seorang anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya: disembelih pada hari ketujuh, diberi nama, dan dicukur rambutnya.”. Dengan kata lain, aqiqah merupakan bentuk tebusan dan cara mensyukuri nikmat kelahiran anak, sebagaimana ditegaskan dalam hadits-hadits shahih.
Aqiqah berasal dari akar kata ‘a-sya-ra yang berarti “mewahikan” atau “memisahkan”, dalam konteks ini merujuk pada rambut bayi. Imam Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa aqiqah secara syar’i adalah “penyembelihan hewan yang dilakukan pada hari ke-7 kelahiran bayi”. Pada hari itu juga bayi dikumandangkan nama dan rambutnya dicukur, seperti disebutkan dalam hadits: “…disembelih pada hari ketujuh, diberi nama, dan dicukur rambutnya.”. Pelaksanaan pada hari ketujuh adalah sunnah Nabi ﷺ, namun para ulama membolehkan hingga hari ke-14 atau ke-21 jika ada uzur.
Pelaksanaan aqiqah memiliki beberapa syarat agar sah menurut syariat. Di antaranya:
Hewan Ternak – Hewan aqiqah harus berupa hewan ternak seperti domba, kambing, sapi, atau unta. Aqiqah tidak sah dengan hewan selain itu (misalnya ayam, burung, kelinci). Mayoritas ulama berpendapat hanya “delapan pasang hewan qurban” yang sah untuk aqiqah, kecuali yang menyimpang pendapatnya. Ibnu Hazm berpendapat hanya kambing (domba) saja, sementara Imam Nawawi dan yang lain menyatakan unta dan sapi pun boleh sebagai analogi.
Kondisi Sehat – Hewan yang akan disembelih harus sehat, gemuk, dan tanpa cacat parah. Pendapat mayoritas ulama menyamakan syarat hewan aqiqah dengan syarat hewan kurban. Jadi, tidak boleh dipilih hewan yang buta sebelah, sakit parah, pincang jelas, atau kurus kering. Dalam hadits disebutkan empat cacat hewan kurban yang tidak boleh ada, dan hal yang sama berlaku untuk aqiqah. Dengan kata lain, utamakan hewan yang bagus fisiknya sebagai wujud menghormati ibadah ini.
Usia Hewan – Hewan aqiqah harus mencapai usia minimal sesuai jenisnya. Untuk kambing (domba), usia minimal 1 tahun (ganti gigi geraham depan); untuk sapi minimal 2 tahun; untuk unta minimal 5 tahun. Hal ini berdasarkan analogi dengan syarat hewan kurban. Rasulullah SAW melarang menyembelih kecuali musinnah (hewan satu tahun) kecuali dalam keadaan sulit, baru diperbolehkan yang lebih muda (jadi’ah). Jadi hindari memilih anak kambing di bawah usia satu tahun.
Waktu Pelaksanaan – Waktu sunnah aqiqah adalah hari ketujuh setelah kelahiran. Jika tidak pada hari ketujuh, masih boleh ditunda hingga hari ke-14 atau ke-21. Namun apabila mampu, yang dianjurkan tetap hari ke-7 menurut hadits Nabi SAW. Sebagian ulama menetapkan batas akhir sebelum anak baligh (dewasa). MUI menegaskan bahwa tidak ada dalil untuk melaksanakan aqiqah baru pada masa dewasa (baligh); aqiqah memang hanya pada masa bayi (7, 14, atau 21 hari). Dengan demikian sebaiknya aqiqah dilaksanakan saat bayi masih kecil.
Pelaksana (Pelaku) – Pada dasarnya aqiqah dilakukan oleh orang tua atau wali yang bertanggung jawab atas anak. Bagi muslim mampu, sunnahnya orang tua menyembelih hewan atas nama anaknya saat masih bayi. Namun siapa pun boleh melakukannya atas nama anak tersebut selama niatnya benar. Bahkan dalam keadaan berkumpul (misalnya beberapa keluarga bergotong-royong), sah jika niatnya untuk aqiqah anak tersebut. Yang penting niat aqiqah tersebut sudah terucap, misalnya dengan lafaz “Allahumma hadzihi ‘aqiqatu ... (nama)” sebelum penyembelihan. Setelah niat diucapkan, binatang disembelih sesuai tata cara penyembelihan Islam (dhabihah), yaitu menyebut nama Allah (bismillah) dan memotong leher hewan dengan pisau tajam.
Tata cara aqiqah yang sesuai sunnah meliputi mulai dari penyembelihan hewan hingga pembagian daging kepada orang lain:
Membaca Niat dan Doa: Sebelum menyembelih, disunahkan mengucap basmalah dan niat aqiqah. Sebagai contoh doa yang diajarkan oleh para ulama adalah: “Bismillâhi walLâhu Akbar. Allâhumma minka wa laka, Allâhumma taqabbal minnî. Hâdzihi ‘aqîqatu ... (sebut nama bayi).” (Artinya: “Dengan menyebut nama Allah. Allah Maha Besar. Ya Allah, aku niat (aqiqah) ini dari-Mu dan untuk-Mu; terimalah dari kami. Inilah aqiqahnya …”). Meskipun doa khusus tidak terdapat dalam hadits shahih, pentingnya niat menegaskan bahwa ibadah ini diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Penyembelihan: Lakukan penyembelihan secara benar: hadapkan hewan ke arah kiblat, potong saluran darah (urat leher) sambil menyebut nama Allah. Sunnah Nabi ﷺ adalah menggunakan pisau yang tajam agar hewan tidak tersiksa. Setelah disembelih, keluarkan darah agar bersih. Misal hadits Bukhari menyatakan, “Setiap anak ada aqiqahnya, sembelihlah [hewan] di hari ketujuh…”, sehingga penyembelihan biasanya dilakukan pada hari ketujuh. Usahakan niat dan penyembelihan ini dimudahkan, misalnya melalui jasa aqiqah yang halal dan terpercaya jika perlu.
Cukur Rambut dan Sedekah Timah Rambut: Setelah sembelih, sunnah mencukur rambut bayi pada hari ketujuh. Rasulullah SAW memerintahkan Fatimah mencukur rambut Hasan, lalu bersedekah perak seberat rambutnya. Syaikh Ibnu Dhayan menyimpulkan: “Disunnahkan mencukur rambut bayi, bersedekahlah dengan perak seberat timbangan rambutnya, dan beri nama pada hari ketujuh.”. Dengan kata lain, setelah aqiqah kita dianjurkan memberi sedekah perak (atau emas) seberat rambut bayi sebagai bentuk kepedulian kepada fakir-miskin dan penghapusan fitnah setan.
Distribusi Daging: Sunnahnya daging aqiqah dibagikan kepada kerabat, tetangga, sanak saudara, serta fakir-miskin. Misalnya sebagian daging digunakan untuk keluarga sendiri agar bisa dimakan bersama, dan sebagian lagi sebagai sedekah kepada yang membutuhkan. Pembagian ke tetangga dan kerabat akan mempererat tali persaudaraan. Pendiri Bank Mega Syariah menyarankan agar aqiqah menjadi media menyebarkan kabar bahagia sekaligus berbagi kepada sesama umat Islam. Rasulullah SAW sendiri menganjurkan agar sebagian daging aqiqah dibagikan; hadits Ummu Kurz mengatakan: “Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu ekor kambing.”, dan konsekuensinya, daging tersebut boleh dinikmati atau dibagikan. Kita harus menghindari menimbun seluruh daging sendiri; sunnahnya ada yang diolah untuk kenduri (walimah) dan ada yang disedekahkan.
Umat Islam memiliki banyak dalil naqli yang mendasari aqiqah. Hadits Shahih Bukhari dan Abu Dawud menjelaskan pelaksanaannya pada hari ketujuh: “Setiap anak ada aqiqahnya, sembelihlah di hari ketujuh…” dan “Aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh, diberi nama, dan dicukur rambutnya.”. Dalam riwayat lain disebutkan: “Barangsiapa diberi anugerah anak lalu ingin menyembelih [hewan] untuknya, silakan lakukan; untuk anak laki-laki dua ekor kambing, dan untuk anak perempuan satu ekor…”. Para ulama bersepakat (ijma) bahwa aqiqah bagi bayi perempuan satu kambing, untuk laki-laki dua kambing. Adapun boleh tidaknya menggunakan hewan selain kambing (misalnya sapi atau onta), mayoritas ulama (Hanafi, Syafi’i, Hambali, sebagian Maliki) membolehkan hal itu sebagai analogi ibadah kurban. Imam Nawawi bahkan menguatkan bahwa satu sapi juga sah jika digunakan untuk tujuh anak berbeda, asalkan niatnya sudah diniatkan masing-masing. Sementara itu, seperti dikemukakan Ibnul Qayyim, hikmah aqiqah adalah sebagai “tebusan dan pembebas si anak dari tahanan setan” yang mengganggunya sejak lahir. Dengan kata lain, selain syukur, aqiqah juga berperan melindungi bayi secara spiritual dari pengaruh jahat dan menjalin silaturahim sosial.
Aqiqah tidak sekadar ritual lahiriah, tetapi mengandung banyak hikmah. Secara spiritual, aqiqah melambangkan syukur kepada Allah SWT atas anugerah kelahiran anak. Pelaksanaannya dianggap sebagai tebusan agar bayi terbebas dari gangguan setan sejak lahir. Sunah Nabi mensyaratkan aqiqah untuk mengingatkan orang tua bahwa kelahiran anak adalah amanah yang harus disyukuri. Di sisi lain, secara sosial, aqiqah mempererat hubungan keluarga dan masyarakat. Dengan membagikan daging aqiqah kepada kerabat, tetangga, dan fakir-miskin, kita menumbuhkan solidaritas dan kepedulian sosial. Dalam hadits disebutkan Rasulullah SAW menyuruh bersedekah seberat timbangan rambut bayi kepada orang miskin, sehingga aqiqah juga menjadi sarana berbagi rezeki. Sebagaimana ditulis di situs edukasi Islami: aqiqah “menyebarkan kabar bahagia sekaligus berbagi kepada sesama umat Islam”. Dengan demikian, aqiqah mengandung manfaat ganda: mendekatkan diri kepada Allah sekaligus menyemai persaudaraan umat.
Dalam praktek aqiqah sering terjadi beberapa kesalahan yang sebaiknya dihindari:
Memilih hewan yang salah: Seringkali orang asal pilih tanpa memperhatikan kriteria syariat (misalnya memilih ayam atau hewan muda). Hindari hal ini dengan memastikan hewan ternak telah memenuhi syarat (jenis, usia, sehat) seperti disinggung di atas. Jangan gunakan hewan di bawah usia yang ditentukan karena dapat membatalkan keabsahan aqiqah.
Jumlah hewan tidak sesuai sunnah: Karena tidak paham sunnah, ada yang memberikan satu kambing untuk bayi laki-laki padahal sunnahnya dua. Sebagaimana ijma ulama, usahakan sesuai petunjuk Nabi ﷺ yaitu 2 kambing untuk laki-laki, 1 kambing untuk perempuan. Jika memang keadaan sangat terbatas, boleh satu untuk laki-laki, namun itu hanya uzur keuangan, bukan anjuran utama.
Kelupaan niat atau doa: Beberapa orang terlupa membaca niat aqiqah (“Allahumma hadzihi aqiqatu...”) dan basmalah saat menyembelih. Padahal, niat ikhlas penting agar ibadah sah. Solusinya adalah mengingatkan diri untuk selalu berniat sebelum penyembelihan dan membaca bacaan ringkas sesuai tuntunan.
Menyembelih sendiri tanpa ahlinya: Menyembelih hewan butuh keterampilan agar sesuai tuntunan syariat. Kesalahan teknik (misalnya tidak menyebut nama Allah, menyembelih yang meleset) bisa menyalahi aturan. Oleh karena itu, mintalah bantuan yang menguasai cara penyembelihan Islam (misalnya penyembelih berpengalaman) atau gunakan jasa aqiqah yang sudah terpercaya.
Tidak mencukur rambut atau memberi nama: Padahal sunnah untuk mencukur rambut bayi dan menamai pada hari aqiqah. Lupakan ini dapat menghilangkan sunah Nabi. Pastikan kedua hal itu dilakukan sebagai bagian acara.
Penundaan hingga dewasa: Salah kaprah lainnya adalah menunda aqiqah sampai anak dewasa. Sebagaimana dijelaskan oleh MUI, tidak ada dalil kuat untuk melakukan aqiqah di masa dewasa; waktu pelaksanaan aqiqah “hanya satu waktu” yaitu tujuh hari kelahiran (dapat meluas hingga 14 atau 21 hari). Oleh karena itu, usahakan aqiqah disegerakan saat bayi, jangan ditunda sampai jauh.
Dengan memperhatikan hal-hal di atas dan mengikuti tuntunan sunnah, kesalahan umum dapat dihindari. Orang tua disarankan membaca literatur aqiqah atau berkonsultasi pada ahli agama jika ragu tentang tata cara. Selalu niatkan ibadah ini hanya untuk mencari ridha Allah dan memohon berkah-Nya bagi anak.
Salurkan Syukur dengan Aqiqah Sesuai Sunnah – Ayo wujudkan sunnah Aqiqah untuk buah hati kita! Pelajari syarat-syarat dan tata caranya agar ibadah aqiqah sah dan berkah. Bila memerlukan kemudahan, pilihlah layanan jasa Aqiqah terpercaya seperti AqiqahUmmahat.com yang profesional dan terpercaya. Lakukan aqiqah dengan penuh keikhlasan dan ajaklah keluarga menikmati berkahnya. Jika artikel ini bermanfaat, bagikan kepada saudara atau teman agar mereka juga tahu pentingnya melaksanakan aqiqah sesuai tuntunan Nabi ﷺ – semoga menjadi ladang amal dan dakwah digital!
Sumber: Penjelasan di atas berdasarkan dalil hadits shahih dan pendapat ulama terkemuka (seperti Imam Nawawi, Ibnu Qayyim, dll.) serta fatwa MUI tentang aqiqah. Informasi syariat dan adat aqiqah bersumber dari literatur fiqh dan panduan Islam kontemporer yang kredibel.